Buat Usulan Ke Unesco, Doktor Zaini Alif Pimpin Nangtungkeun Kolecer di Kampung Bolang
SUBANG, Lampusatu.com - Warga di Kampung bolang Desa Cibuluh Kecamatan Tanjungsiang, Subang, sangat antusias mengikuti gelaran upacara nangtungkeun (Mendirikan) Kolecer Sabtu (18/11), di dekat pematang sawah dipimpin langsung bapak kaulinan budak Jawa Barat Doktor Zaini Alif.
Upacara ini, digelar sebagai bentuk rasa syukur warga Cibuluh atas keberhasilan bertani. Yang juga merupakan tradisi leluhur, yaitu orang tua dulu yang sudah lama tak digelar. Bahkan bak hilang ditelan zaman.
"Upacara juga sekaligus diisi doa bersama sebagai bentuk syukur atas keberhasilan bertani, dan mensyukuri pemberian rizky dari Allah. Itu dihadirkan dalam upacara nangtungken kolecer," kata Zaini Alif pendiri Sanggar Budaya Bolang yang dikenal pula Komunitas Hong Bolang di Desa Cibuluh Kecamatan Tanjungsiang, Kabupaten Subang.
Dalam upacara tersebut berlangsung sangat khidmat, semua warga yang ikut pada prosesi nangtungkeun kolecer nampak terlihat kompak mengenakan pakaian adat khas Sunda yaitu baju dan celana pangsi ditambah iket sunda.
Dijelaskan, Zaini, rangkaian upacara ini juga sekaligus dalam rangka mengusulkan kolecer menjadi warisan budaya dunia. Di tahun 2017 kolecer sudah diakui dan ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda Nasional oleh Kemendikbud, disahkan bersama WBTB lain termasuk iket.
"Kolecer sudah diakui menjadi WBTB Indonesia, sekarang kami lagi proses mengusulkan ke Unesco supaya bisa ditetapkan menjadi warisan budaya dunia. Upacara tadi juga dibuat dokumentasinya sebagai syarat usulan ke unesco nanti,"ungkapnya.
Menurut Zaini, kolecer ini bukan hanya disukai oleh anak-anak tetapi juga orang dewasa. Tentu saja bentuk dan ukurannya berbeda, kolecer buat dewasa lebih rumit proses pembuatannya. Selain itu, biaya membuatnya juga bervariasi, malahan ada yang harganya bisa mencapai belasan juta rupiah.
Biasanya kolecer dipasang di pesawahan dan halaman rumah. Walaupun kebanyakkan anggapan kolecer itu mainan, tapi di Sunda Kolecer ini kental makna budaya, yaitu penguatan hubungan manusia dengan alam, yaitu angin.
Angin tak terlihat bisa terwujud dengan adanya putaran kolecer. Begitu juga suaranya jadi terdengar dari bunyi kolecer. Ini juga menyadarkan masy peran/pengaruh pentingnya angin bagi pertaaniaan, sebab perubahan angin itu pengaruh ke musim.
"Kalau orang tua kami dulu, mereka bisa memprediksi cuaca dari angin lewat kolecer, seperti kecepatan, kontinuitas putaran, dan arah kolecer. Termasuk dari suara kolecer," ujarnya.
Zaini menjelaskan, bentuk kolecer ini terbagi dalam tiga bagian besar, yaitu bubuntut/belakang simbol tekad, bagian tengah dan kolecernya simbol ucap serta putaran dunia, tiangnya simbol lampah/langkah.
"Jadi ada tekad, ucap, dan lampah. Buana luhur, buana pancatengah, dan buana larang, menggambarkan tri tangtu, tilu sapamulu, dua sakarupa, nuhiji eta keneh. Sistem tiga itu menjadi media wujud syukur ke alam. Ketika kolecer bisa berputar itu filosifi datangnya sanghyang hirup, muncul tritangtu. Jadi bukan hanya berputar oleh angin, tetapi dipandangkan bisa melahirkan karahayuan,"pungkasnya. (Galih Andika/R1/16)***
Ket.Gambar : Prosesi upacara nangtungkeun kolecer di Kampung bolang Desa Cibuluh, Kecamatan Tanjungsiang, Subang, Sabtu (18/11).